Wednesday, February 27, 2013

Hirschsprung Diseases


 PENYAKIT HIRSCHSPRUNG

Dikenal beberapa tehnik operasi pada Penyakit Hirschsprung, antara lain: Soave, Swenson dan Prosedur Duhamel.

Prosedur Duhamel 
    Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun  1956  untuk mengatasi  kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui  bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior  rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk  rongga  baru dengan anastomose  end to sid.

  Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering  terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya : 
  1.  Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia;
  2. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;
  3. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;
  4. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal  dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih  dititik beratkan pada fungsi hemostasi.

Tuesday, February 19, 2013

Kanker Tiroid

KANKER TIROID


A. Embriologi, Anatomi, Dan Fisiologi Tiroid 
1. Embriologi
Tiroid merupakan  kelenjar endokrin pertama yang terbentuk pada embrio, dan mulai dibentuk  pada hari ke 24. Pembentukan ini dimulai dengan suatu penebalan endoderm pada garis tengah lantai faring antara tuberculum impar dan copula pada suatu titik yang kemudian dikenal sebagai  foramen caecum. Endoderm  ini tumbuh memanjang kebawah membentuk divertikulum tiroid. Sesuai pertambahan panjang embrio, tiroid turun kebawah, melewati bagian depan kartilago laring dan tulang hioid. Selama proses penurunan ini tiroid tetap terhubung dengan asalnya di lidah melalui saluran sempit duktus tiroglosus sampai tujuannya tercapai di leher. Pada saatnya duktus tiroglosus akan mengalami degenerasi dan biasanya komplit pada minggu ke tujuh, namun bisa tertinggal sisa yang dikenal sebagai kista duktus tiroglosus. Kista ini bisa terdapat dimana saja sepanjang garis penurunan tiroid. Posisi akhir akan tercapai di depan trakea pada minggu ke tujuh. Pada akhirnya terbentuk dua lobus dilateral dan dihubungkan oleh isthmus di tengah (Sadler TW, 2005; Prinz RA, 2000).
Tiroid mulai berfungsi diperkirakan pada akhir bulan ketiga, dimana saat pertama kali folikel tampak berisi koloid. Sel folikuler menghasilkan koloid yang merupakan sumber tiroksin dan triiodotironin (Sadler TW, 2005; Prinz RA, 2000). Sulkus pharingeus ke lima (ultimobranchial body) ikut membentuk bagian kelenjar tiroid. Ultimobranchial body ini merupakan asal mula sel parafolikuler atau sel-C.  Parafolikuler atau sel-C ini, menyediakan sumber kalsitonin (Sadler TW, 2005; Prinz RA, 2000).
  2. Anatomi
Kelenjar tiroid organ berbentuk kupu-kupu terletak didepan trakea setinggi cincin trakea ke dua dan  tiga. Kata tiroid berasal dari bahasa Yunani “thyreos” yang berarti pelindung. Tiroid terdiri dari dua lobus yang dihubungkan oleh isthmus ditengah. Masing-masing lobus mempunyai panjang lebih kurang 3-4 cm, lebar lebih kurang 2 cm, dan hanya beberapa milimeter ketebalan. 
Tiroid mempunyai hubungan anatomis yang sangat erat terhadap trakea, sehingga nodul yang berasal dari aspek posterior kelenjar tiroid biasanya tidak teraba pada pemeriksaan dengan jari, dan sering luput pada pemeriksaan klinis rutin. Isthmus menghubungkan ke dua lobus, mempunyai tinggi 12-15 mm. 
Kadang-kadang terdapat lobus piramidalis ditengah diatas isthmus . Variasi anatomi kelenjar tiroid dan dijumpai dalam praktek klinik, satu yang paling umum adalah hemiagenesis tiroid dengan hanya satu lobus dan satu isthmus kelenjar tiroid. Lobus hemiagenesis tiroid memiliki kemungkinan kelainan yang sama dengan kelenjar tiroid normal termasuk nodul dan kanker tiroid (Stathatos N, 2006).
Kelenjar tirod diliputi oleh suatu kapsul fibrosa. Nodul yang terdapat pada parenkim kelenjar juga diliputi kapsul atau pseudokapsul. Laporan patologi dapat menunjukan adanya invasi suatu tumor melewati kapsul, dan untuk penentuan stadium, prognosis dan pengelolaan. Ini penting untuk diketahui apakah terdapat perluasan melewati kapsul kelenjar sekeliling jaringan peritiroid. 
Beberapa struktur kunci berhubungan dengan kapsul dan harus menjadi perhatian dalam pembedahan kelenjar tiroid adalah kelenjar paratiroid dan nervus laringeal rekuren. Ini merupakan bagian penting pada total tiroidektomi pada pasien kanker tiroid. Kelenjar paratiroid terdapat pada aspek posterior kelenjar tiroid. Identifikasi dan preservasi kelenjar paratiroid ini penting selama pembedahan dan dapat menjadi suatu hal yang sulit pada kanker yang invasiv yang mana dibutuhkan pembedahan ekstensif untuk reseksi yang komplit, termasuk diseksi leher modifikasi. Monitoring ketat fungsi kelenjar paratiroid melalui pengukuran kadar kalsium pada periode awal postoperasi adalah penting untuk mencegah atau pengobatan yang adekuat terhadap hipoparatiroid postoperasi (Stathatos N, 2006). 
Nervus laringeus rekuren merupakan struktur lain yang perlu diperhatikan. Nervus ini memberikan bagian persarafan yang penting terhadap laring, dan setiap cedera dapat menimbulkan gejala mulai dari suara serak sampai stridor hingga membutuhkan suatu trakeostomi. Nervus laringeus rekuren ini berasal dari nervus vagus dan pada lengkung aorta kembali menuju atas ke trakeoesopageal groove (Stathatos N, 2006).
Suplai darah kelenjar tiroid berasal dari dua pasang arteri yang terletak di lateral. Arteri tiroidea superior berasal dari arteri carotis eksterna. Arteri tiroidea superior turun ke pole superior kelenjar tiroid, dan bergabung bersama nervus laringeus superior. Nervus laringeus superior ini berasal dari ganglion vagus inferior. Sewaktu mendekati laring nervus laringeus superior terbagi menjadi cabang eksterna dan cabang interna. Cabang interna mensuplai inervasi sensoris supraglotis laring, dan cabang eksterna menginervasi muskulus krikotiroid. Ini biasanya direkomendasikan selama operasi tiroidektomi. Ahli bedah harus meligasi arteri tiroidea superior sedekat mungkin dengan kelenjar tiroid, untuk menghindari kerusakan setiap cabang nervus laringeus superio (Stathatos N, 2006).

Arteri tiroidea inferior cabang dari trunkus servikalis dan sangat dekat dengan nervus laringeus rekuren. Kadang-kadang arteri tiroid ima juga menyediakan suplai darah untuk kelenjar tiroid dan berasal dari trunkus servikalis atau cabang dari aorta. Aliran vena kelenjar tiroid terdiri dari tiga pasang vena; superior, media dan inferior. Vena superior dan media mengalir ke vena jugularis interna, dan vena inferior beranastomose dengan vena-vena lain dianterior trakhea dan mengalir ke vena brakhiosefalik (Stathatos N, 2006).
Aliran limfatik sisi lateral kelenjar tiroid mengikuti aliran arteri. Aliran limfatik sisi lateral, superior mengikuti arteri tiroidea superior menuju kelenjar limfe servikal profunda atas, dan inferior mengikuti arteri tiroidea inferior menuju kelenjar limfe servikal profunda bawah. Sisi medial kelenjar tiroid, superior mengalir menuju kelenjar digastrik, sedangkan inferior menuju kelenjar pretrakhea dan brakhiosefalika ( Skandalakis JE, Prinz RA, 2000, Stewart WB, 2007). 
3. Fisiologi  
Kelenjar tiroid terdiri dari lobulus-lobulus kecil. Setiap lobulus terdiri dari tiga puluh sampai empat puluh folikel. Folikel adalah unit struktural dan unit fungsional. Folikel terdiri atas selapis sel epitel berbentuk kuboid yang mengelilingi suatu ruangan yang berisi koloid. Unsur utama koloid adalah tiroglobulin. Tiroglobulin merupakan suatu glikoprotein yang di sintesis oleh sel folikuler dan di sekresi kedalam koloid. Koloid merupakan tempat pembentukan dan penyimpanan hormon tiroid: triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4) (McDougall  IR, 2006). Pembuluh darah, jaringan ikat penunjang dan kelompok sel C (juga dikenal sebagai sel parafolikuler) tampak diantara folikel. Sel C ini memproduksi kalsitonin yang membantu mengendalikan kadar kalsium dalam darah (Stathatos N, 2006).
Hormon tiroid berfungsi mengatur sistem metabolisme tubuh. Produksi hormon tiroid diatur oleh otak melalui Thyrotropin Releasing Hormon (TRH) dan Thyroid Stimulating Hormon (TSH). Jika TSH meningkat maka kerja kelenjar tiroid dalam memproduksi hormon triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4) meningkat. Hal sebaliknya terjadi bila TSH menurun. Namun, kerja TSH juga diatur oleh jumlah hormon tiroid (T3 dan T4) yang beredar dalam darah. Jika T3 dan T4 berlebihan dalam darah, maka TSH akan menurun agar kelenjar tiroid mengurangi produksi hormon, demikian sebaliknya (feed back mechanism) (Ganong WF, 2003).


B. Epidemiologi
Kanker tiroid merupakan keganasan endokrin yang tersering dan diperkirakan 1% dari seluruh keganasan pada manusia. Kanker tiroid bertanggung jawab atas banyak kematian dibandingkan dari gabungan keganasan endokrin yang lain. Insiden kanker tiroid lebih dominan pada perempuan, dengan ratio pria:perempuan antara 1:1,5 sampai 1:3 pada banyak negara. Meskipun nodul tiroid umum ditemukan pada masyarakat namun angka keganasannya adalah rendah utamanya pada daerah defisiensi iodium dengan prevalensi tinggi noduler goiter (Gorges R, 2005).
 Diseluruh dunia insiden tertinggi kanker tiroid terdapat didaerah tertentu misalnya di Hawai (perempuan 119/ sejuta dan pria 45/sejuta) kemungkinan ini adalah akibat dari pengaruh lingkungan. Di Polandia kejadian tercatat paling rendah yakni perempuan 14 per sejuta penduduk dan pria empat persejuta penduduk. Kanker tiroid sangat jarang pada anak dibawah 15 tahun. Angka kejadian di Amerika Serikat pada populasi ini adalah anak perempuan 2,2 persejuta dan anak laki-laki 0,9 persejuta. Angka kejadian kanker tiroid meningkat sesuai umur dan puncaknya terdapat  antara dekade lima dan delapan  (Fige JJ, 2006).
Insiden kanker tiroid meningkat selama beberapa dekade di Amerika Serikat, serta beberapa negara lainnya, khususnya pada perempuan. Sebagai contoh di Connecticut insiden pada perempuan meningkat secara progresif dari 13 persejuta pada tahun 1935-1939, menjadi 36 persejuta pada tahun 1965-1969, menjadi 45 persejuta pada tahun 1985-1989 dan mencapai 45 persejuta pada tahun 1990-1991. Alasan yang pasti terjadinya peningkatan ini tidak diketahui dengan jelas, tetapi dapat dihubungkan dengan dikenalnya  metodologi diagnostik yang lebih baik (seperti ultrasonografi, scan tiroid, dan biopsi aspirasi jarum halus) dan peningkatan registrasi penderita kanker (Fige JJ, 2006).
Angka kematian kanker tiroid adalah rendah- lima kematian persejuta penduduk pertahun, barangkali ini menggambarkan prognosis yang baik dari kebanyakan kanker tiroid. Angka kematian rendah pada individu dibawah limapuluh tahun dan meningkat tajam setelah itu (Fige JJ, 2006).
Meskipun insiden kanker tiroid meningkat dari waktu kewaktu  pada pria dan perempuan, angka kematian telah menurun selama 50 tahun terakhir. Berkurangnya kematian disebabkan oleh diagnosa dini, peningkatan penatalaksanaan, dan penurunan insiden kanker anaplastik. Sebagai contoh, lima tahun survival rate relatif kanker tiroid meningkat dari 80% pada tahun 1950-1954 menjadi 96% pada tahun 1992-1999 (Fige JJ, 2006).

C. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab pasti kanker tiroid masih belum diketahui. Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya kanker tiroid (Suyatno, Pasaribu ET 2010). 
  1. Paparan radiasi. Sebesar 9% dari kanker tiroid berkaitan dengan paparan radiasi. Kejadian kanker tiroid akan meningkat secara linear jika dosis radiasi yang diterima lebih dari 20 Gy. Radiasi pada anak-anak (< 15 tahun) merupakan faktor resiko mayor untuk kanker tiroid. Proporsi terjadinya kanker papiler tiroid yang kurang diferensiasi lebih tinggi pada paparan radiasi yang terjadi pada usia anak. 
  2. Sindrom Genetik: Gardner sindrome, adenomatous polyposis dan Cawden’s disease berhubungan peningkatan resiko dari kanker tiroid. 
  3. Riwayat keluarga dengan MEN 2A, MEN 2B atau kanker tiroid meduler. Kanker ini sebagian (20%) diturunkan secara genetik. Mutasi gen (RET) dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Hampir semua orang dengan mutasi gen RET, terjadi kanker tiroid meduler. 
  4. Kelainan tiroid jinak: goiter, adenoma dan tiroiditis. 
  5. Diet: makanan yang banyak mengandung mentega, keju dan daging menigkatkan resiko sedang buah-buahan segar dan sayuran menurunkan resiko. Makanan yang kurang mengandung yodium meningkatkan resiko, kadar yodium yang rendah dapat juga terjadi karena paparan radiasi atau karena kelainan tiroid jinak. 
  6.  Usia diatas 45 tahun. Umumnya penderita kanker tiroid berusia di atas 45 tahun dan umumnya penderita kanker tiroid anaplastik di atas 60 tahun.

D. Klasifikasi, Sistem TNM dan Stadium Klinis Kanker Tiroid
Secara umum  terdapat empat jenis kanker tiroid yaitu kanker tiroid papiler, kanker tiroid folikuler, kanker tiroid meduler dan kanker  tiroid anaplastik.  Kanker tiroid papiler dan  meduler digolongkan sebagai kanker tiroid berdeferensiasi baik (Wartofsky L, 2006).
Kanker tiroid papiler adalah adalah tipe keganasan tiroid paling umum  (70-80 % ) dari semua tipe keganasan tiroid,  diikuti kanker tiroid folikuler (10%),  kanker meduler (5-10%) dan anaplastik (2-10%) (Shah JP, 2009).

E. Diagnosis Kanker Tiroid
Untuk menegakkan diagnosis kanker tiroid didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, pemeriksaan FNAB, pemeriksaan potong beku dan imprint serta pemeriksaan histopatologi dari blok parafin (Manuaba TW, 2010, Suyatno, 2010, Harahap WA, 2008).
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik       
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, kecurigaan akan adanya proses keganasan pada penderita dengan nodul tiroid, apabila ditemukan hal sebagai berikut:

Tabel 1. Anamnesis kecurigaan keganasan pada nodul tiroid (Suyatno, 2010)
Riwayat radiasi pada daerah leher
Pertumbuhan tumor yang cepat
Suara serak
Riwayat Keluarga yang menderita kanker tiroid
Riwayat keluarga dengan MEN
Gejala sumbatan jalan nafas
Tetap membesar dengan terapi tiroksin
Umur < 20 tahun, > 50 tahun
Tabel 2. Pemeriksaan fisik kecurigaan keganasan pada nodul tiroid (Suyatno, 2010)
Nodul padat dan keras
Pembesaran kelenjar getah bening regional
Metastasis tulang / paru
Terfiksasi dengan jaringan sekitarnya
Paralisis pita suara

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium fungsi tiroid dapat membedakan keadaan hipertiroid atau hipotiroid. Kadar T3, T4 dan TSH umumnya normal pada kanker tiroid. Pengukuran kadar serum tiroglobulin akan bermakna setelah terapi pembedahan total tiroid. Apabila kadar tiroglobulin meningkat setelah total tiroidektomi, diduga ada rekurensi dan atau metastasis. Pemeriksaan kadar kalsitonin untuk mendiagnosis suatu kanker tiroid tipe medulare.
Pemeriksaan penunjang lain adalah pemeriksaan foto polos leher. Foto polos leher dengan teknik jaringan lunak, dapat melihat adanya mikrokalsifikasi, infiltrasi/pendesakan jaringan sekitar.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat mendeteksi nodul 2-3 mm, membedakan nodul solid atau kistik, menentukan jumlah dan letak nodul, pembesaran kelenjar getah bening, pengarah biopsi dan menilai respon terhadap terapi supresi. Beberapa gambaran USG yang menunjukkan keganasan adalah mikrokalsifikasi, batas yang irreguler, hipoekogenisiti,  dan absennya halo pada batas nodul. Dengan memakai USG yang dilengkapi dengan dopler didapatkan gambaran neovaskularisasi yang merupakan salah satu tanda keganasan tiroid.
Pemeriksaan Scan tiroid (I131) tidak untuk membedakan jinak atau ganas secara pasti. Diperkirakan 16% nodul dingin dan 9% nodul hangat (normal) merupakan nodul ganas, sedangkan nodul panas (hot nodul) sangat jarang merupakan nodul ganas. Kegunaan pemeriksaan ini adalah untuk memperlihatkan nodul (soliter, multipel atau retrosternal), mencari occult neoplasma pada tiroid, mengidentifikasi jaringan tiroid setelah operasi tiroid, mengidentifikasi ektopik tiroid, mencari daerah metastasis setelah total tiroidektomi.
Pemeriksaan imaging lain terutama bertujuan untuk melihat ekstensi kanker tiroid, infiltrasi, metastasis dan operabilitas, seperti foto thoraks, foto tulang, esofagogram, CT-scan, MRI.

3. Pemeriksaan FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy)
Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) merupakan pemeriksaan yang aman, murah, dan akurat untuk evaluasi nodul tiroid. Nodul diklasifikasikan dengan positif ganas, atipik mencurikan keganasan, atipik condong neoplasma jinak, lesi jinak dan tidak representatif.
Pemeriksaan potong beku dan imprint dapat membedakan jinak atau ganas waktu operasi berlangsung dan sekaligus untuk menentukan tindakan operasi definitif. Salah satu masalah yang menarik dalam potong beku adalah lesi folikuler, karena dapat ditemukan pada keganasan maupun kelainan jinak.
4. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan jaringan pembedahan atau histopatologi merupakan pemeriksaan definitif atau baku emas diagnosis kanker tiroid pascabedah. Biopsi pada kanker tiroid yang operabel tidak dibenarkan. Biopsi hanya dilakukan pada kanker tiroid yang in-operabel, seperti pada kanker anaplastik.

F. Penatalaksanaan Kanker Tiroid
Penanganan nodul tiroid meliputi: observasi, operasi, radiasi dan hormonal (supresi) terapi. Tindakan observasi biasanya disertai dengan supresi tiroksin.
1. Pembedahan
Pembedahan nodul tiroid dilakukan bila diagnosis preoperatif suatu kanker atau belum terdiagnosis, jika didiagnosis kanker tiroid dan operabel maka dilakukan tiroidektomi total. Nodul tunggal yang belum terdiagnosis dilakukan hemitiroidektomi, jika kemudian terdiagnosis sebagai kanker berdiferensiasi baik dilakukan reoperasi menjadi tiroidektomi total atau jika skor prognostik baik dilakukan observasi dan follow up yang baik (Manuaba TW, 2010).
2. Terapi Adjuvant/ Tambahan
Adjuvant terapi untuk kanker tiroid differensiasi baik adalah radioaktif I131 , supresi TSH dan radiasi eksterna. Terapi ablasi dengan radioaktif untuk sisa jaringan tiroid setelah tiroidektomi, sudah established, tapi kriteria untuk penggunaan terapi ini masih bervariasi di setiap institusi.
Setelah total tiroidektomi untuk kanker tiroid papiler dan folikuler dilakukan scanning tiroid untuk mengevaluasi ada tidaknya sisa jaringan tiroid atau tumor. Jika ada sisa dilakukan ablasi dengan I131.
Setelah tiroidektomi dan ablasi diberikan hormonal terapi levotiroksin sodium (euthyrox atau thyrax).  Jika sudah terbukti tidak ada sisa tumor/jaringan tiroid diberikan dosis substitusi yakni 2,1 µg/bb/hari. Jika masih ada sisa diberikan dosis supresi yakni dosis untuk mencapai konsentrasi TSH dibawah 0,1mU/L atau konsentrasi yang tidak terdeteksi.
Radiasi eksterna diindikasikan untuk kasus: terdapat sisa tumor besar pasca operasi, resiko tinggi untuk relaps (usia diatas 45, microscopic residual disease, invasi ekstra tiroid ekstensif), MTC pasca tiroidektomi dan anaplastik (Suyatno, 2010).

                                                                                                                                                                                                                                                   


G. Prognosis Kanker Tiroid
Prognosis penderita kanker tiroid berhubungan dengan tipe histologi kanker tiroid. Angka ketahanan hidup 5 dan10 tahun untuk kanker papiler adalah 96% dan 93%,  kanker folikuler 91% dan 85 %,  kanker meduler 80% dan 75% serta kanker anaplastik 14% (Gorges R, 2005).
Untuk setiap tipe histologi faktor prognostik lain telah di diidentifikasi. Bermacam-macam faktor prognosis yang bermakna seperti umur pada kanker tiroid berdeferensiasi telah diketahui oleh Sloan pada tahun 1954 dan kemudian oleh EORTIC group pada tahun 1979. Meskipun belum ada kesepakatan, sejumlah sistem staging telah diusulkan dalam mencoba memprediksi hasil penatalaksanaan dan membantu pemilihan terapi dan jenis operasi (table.3) (Dean DS,2000).
           
1. Umur
Umur saat diagnosis kanker tiroid ditegakkan telah diketahui sebagai faktor prognosis penting pada kanker tiroid berdiferensisi. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan linear kekambuhan dan kematian sesuai dengan peningkatan umur, terutama setelah umur 40 tahun. Pasien yang lebih tua sering hadir dengan tumor yang lebih agresif, metastasis jauh dan varian histologis yang agresif, yang menyebabkan perjalanan penyakit yang tidak menguntungkan (IAEA, 2009).
2. Jenis Kelamin
Kanker tiroid pada pria diikuti dengan perjalanan penyakit yang lebih agresif. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lin dkk dari 1257 pasien menunjukkan bahwa pasien laki-laki dengan kanker papiler lebih cenderung bermetastasis jauh (IAEA, 2009).
3. Ukuran tumor
Ukuran kanker tiroid papiler dapat berkisar dari kurang 1 cm sampai dengan tumor menutupi seluruh lobus tiroid. Tumor berukuran 1 cm atau kurang oleh WHO didefinisikan sebagai mikrokanker. Telah ditunjukkan bahwa ukuran tumor merupakan faktor prognosis penting pada kanker tiroid berdiferensiasi (IAEA, 2009).
4. Metastasis
Metastasis kelenjar getah bening lebih umum terjadi pada kanker papiler dibandingkan kanker folikuler. Dilaporkan tingkat keterlibatan kelenjar getah bening pada kanker papiler dapat mencapai 80 %. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa keterlibatan getah bening pada kanker papiler merupakan faktor prognostik buruk, sedangkan penelitian lain tidak menemukan hubungan yang bermakna. Mazaferri dkk, menemukan keterlibatan kelenjar getah bening sebagai faktor prediktif tinggi terhadap kekambuhan dan kematian akibat tumor tiroid. Hughes dkk menemukan keterlibatan kelenjar getah bening tergantung pada umur saat tumor didiagnosis dan bukan suatu faktor prognostik independen (IAEA, 2009).
Metastasis jauh ke paru-paru dan tulang juga dapat mempengaruhi prognosis pada kanker tiroid berdiferensiasi. Metastasis jauh ini lebih umum pada kanker tiroid folikuler dibandingkan kanker tiroid papiler. Ruegemer, dkk menunjukkan bahwa metastasis jauh meningkatkan angka kematian (s/d 75 %) pada kasus kanker folikuler dan 82 % meninggal oleh penyakitnya dalam 5 tahun (IAEA, 2009).

Wednesday, February 13, 2013

Peritonitis

Peritonitis



Peritonitis adalah inflamasi peritoneum dan cavum peritoneum, biasanya disebabkan oleh infeksi lokal atau generalisata. Peritonitis primer berasal dari bakteri, chlamidia, fungi, atau infeksi mikobakterial dan tidak ada perforasi traktus gastrointestinal, sedangkan peritonitis sekunder terjadi oleh karena terdapatnya perforasi traktus gastrointestinal. Penyebab umum dari peritonitis  sekunder yaitu penyakit ulkus peptikum, apendisitis akut, divertikulitis kolon, dan pelvic inflamatory disease.
Peritonitis dapat lokal atau general. Peritonitis lokal, daerah yang terkena diliputi omentum, usus yang berdekatan dan adhesi fibrin. Apabila hal ini gagal mencegah penyebaran maka akan terjadi peritonitis general. Pada peritonitis lokal akan terlibat peritoneum parietal, maka nyeri terlokalisir pada daerah yang terlibat dan akan diekseserbasi oleh pergerakan otot abdomen. Pada palpasi daerah ini akan didapatkan nyeri tekan, dan otot-otot dinding abdomen yang diatasnya akan berkontraksi pada pemeriksaan ini. Tanda ini dikenal sebagai muscle guarding. Apabila palpasi dilepaskan secara cepat, maka pergerakan tiba-tiba peritoneum akan menyebabkan nyeri, hal ini disebut rebound tenderness.
Penyebab peritonitis
Peritonitis Lokal
  • Inflamasi transmural usus; misalnya appendisitis, Crohn's disease, divertikulitis
  • Inflamasi trasmural viscera lain; misalnya kolesistitis, salpingitis
Peritonitis General
  • Peritonitis kemikal: iritasi peritoneum oleh material noxiuous mis; cairan lambung atau usus halus (yang disebabkan oleh perforasi), enzim yang mengandung eksudat pada pankreatitis akut atau darah.
  • Peritonitis bakterial: penyebaran infeksi intraperitoneal, mis; ruptur abses intra abdomen atau kontaminasi fekal yang disebabkan oleh kontaminasi dari perforasi usus, trauma, kebocoran anastomosis setelah operasi usus.

Obstruksi intestinal

OBSTRUKSI USUS
(SHORT PRACTICE of SURGERY, Bailey & Love’s 25 th, Chapter 66)


Obstruksi usus adalah gangguan pasase usus. Secara garis besar obstruksi usus dapat dibagi dua. Pertama adalah obstruksi mekanik dan kedua adalah obtruksi fungsional. Obstruksi mekanik dapat terjadi intralumen, intramural, dan ekstramural. Contoh obstruksi intralumen antara lain; gallstone ileus, food bolus, meconeum ileus, bezoars dan lain-lain. Contoh obstruksi intramural adalah; strictur, malignancy dan lain-lain. Contoh obstruksi ekstramural adalah adhesi, hernia, volvulus, intussusception dan lain-lain. Sedangkan contoh obstruksi fungsional misalnya; ileus paralitik, oklusi arteri mesenterika, dan pseudo-obstruksi. 

Penyebab obstruksi paling banyak adalah oleh karena adhesi (40%) kemudian oleh keganasan (15%), (inflamasi 15%)sisanya lain-lain. Adhesi sebagai penyebab obstruksi paling sering bisa diklasifikasikan jadi dua, pertama kongenital dan kedua adalah didapat contoh yang kedua ini adalah adhesi post operasi.



Manifestasi klinik obstruksi usus tergantung pada;
1. Lokasi obstruksi,
2. Umur penderita,
3. Penyakit yang mendasari,
4. Terdapat atau tidaknya iskemik usus.

Berdasarkan lokasi kita bedakan apakah obstruksinya terdapat pada usus halus atau usus besar. Batas keduanya adalah katup ileosekal atau dikenal juga dengan valvula bahuini. Obstruksi pada usus halus dibedakan lagi atas letak tinggi dan letak rendah yang batas antara keduanya adalah ampula vateri. Obstruksi usus halus letak tinggi ditandai dengan; muntah yang lebih awal dan profuse, sedangkan letak rendah ditandai dengan; nyeri muntah datang lebih lambat, pada foto rontgen tampak multiple air fluid level di sentral. Obstruksi usus besar distensi lebih dahulu, nyeri lebih ringan, muntah dan dehidrasi datang lebih terlambat, pada rontgen tampak dilatasi kolon.



Obstruksi mekanik ini terdapat empat tanda klasik; nyeri, muntah, distensi, dan konstipasi.  

1. Nyeri
* Gejala pertama yang ditemukan 
* Terjadi tiba-tiba dan biasanya hebat 
* Bersifat kolik dan biasanya terpusat di umbilikus (usus halus) atau abdomen bawah (usus besar) 
* Nyeri bersamaan dengan peningkatan aktivitas peristaltik. 
* Dengan peningkatan distensi, nyeri kolik diganti oleh nyeri difus konstan ringan. 
* Berkembangnya nyeri hebat merupakan indikasi terdapatnya strangulasi.  

2. Muntah
* Semakin distal obstruksi, semakin panjang waktu antara gejala dan munculnya muntah.
* Bila obstruksi berlanjut, karakteristik muntah berubah dari makanan ke material faeculent, sebagai akibat dari adanya pertumbuhan bakteri usus yang berlebihan.  

3. Distensi
* Tergantung lokasi obstruksi
* Semakin distal lesi semakin hebat distensi
* Minimal atau negatif pada oklusi pembuluh darah mesenterium  

4. Konstipasi  
a. Total; feses dan flatus tidak ada  
b. Parsial; hanya flatus yang lewat.

Gejala lain obstruksi mekanik :  

1. Dehidrasi.
Umum pada obstruksi usus halus. Dehidrasi dan kehilangan elektrolit disebabkan oleh:
– pengurangan intake oral
– absorbsi usus yang tidak efektif
 – kehilangan akibat muntah
– sekuester cairan ke lumen usus  

2. Hipokalaemia. Pireksia.
Bila terdapat pada obstruksi mengindikasikan:
• onset iskemia
• perforasi
• inflamasi  



Pseudo-obstruksi

Intestinal pseudo-obstruksi adalah suatu sindrom dimana terdapat gejala dan tanda obstruksi tanpa adanya lesi mekanik yang menyumbat lumen. Meskipun khas pada pasien tua, pseudo-obstruksi dapat terjadi pada neonatus. Gangguan tidak terbatas pada usus halus. Secara umum disepakati bahwa motilitas usus  adalah abnormal, etiologi bisa miopati atau neuropati. Pasien mendapat serangan berulang, bervariasi antara lama dan frekuensinya terdiri dari mual, muntah, distensi abdomen, dan diare atau konstipasi.


Gambaran Radiologi.
Bagaimana membedakan usus halus atau usus besar yang dilatasi?
* Mudah- Lihat lipatan usus! 
* Lipatan usus halus dimulai dari sisi dinding yang satu ke sisi dinding lainnya
* Lipatan usus besar - Haustra melintang sampai sepertiga bagian usus besar  


* Usus halus letaknya lebih sentral dalam abdomen 


Dilatasi usus halus

 Dilatasi usus besar