Monday, March 3, 2014

Hari Minggu Kami Mau Libur

Hari Minggu Kami Mau Libur

Hari itu hari Minggu tanggal 2 Maret 2014. Saya follow up pasien anak perempuan umur 11 tahun yang masuk sabtu kemaren dengan observasi nyeri peut. Setelah saya lakukan pemeriksaan fisik tanda-tanda peritonis difus sudah semakin jelas dan hasil rontgen abdomen pun mendukung itu. Selesai inform consent pada keluarga dan keluarga pun setuju dilakukan operasi bedah perut dengan segala resiko. Saya pun minta perawat ruangan bedah untuk menyiapkan segala sesuatunya termasuk menghubungi petugas kamar operasi dan petugas anestesi. Rencana operasi akan dilakukan sore setelah puasa pasien cukup 6 jam. Sambil menuggu persiapan saya pun pulang ke rumah.


Tidak berapa lama dirumah telepon pun berbunyi, rupanya dari perawat bangsal bedah, dia mengatakan sudah menghubungi perawat kamar operasi dan ia bilang bahwa perawat kamar operasi tidak bisa lagi operasi pada hari libur. Wah.. ada apa gerangan pikir saya dalam hati. Saya konfirmasi ke perawat kamar operasi saya telepon. " Ya betul Pak, kami minggu ingin istirahat kami bisa senin sampai sabtu saja". "Kenapa begitu ini operasi cito?". "Ya pak kami mau libur, teman-teman susah dihubungi, uang lembur gak jelas, dan ini sudah kesepakatan dengan Kasi Keperawatan" jawabnya. Waduh pikir saya sejak kapan pula kamar operasi libur? gawat ini pikir saya dalam hati. 

Saya gak habis pikir bisa-bisanya perawat kamar operasi ini menolak operasi di hari libur. Sebenarnya yang menjadi alasan utamanya untuk libur pada hari minggu? Apakah karena karena uang lembur gak ada atau karena alasan lain? Kalau dibilang uang lembur gak ada, kenapa harus lembur? Lembur kan diberi kalau jam kerja melebihi jam wajib yang yang harus dipenuhi. Jumlah mereka saya rasa cukup, jika saja mereka mau mengatur jadwal dengan benar. Satu prinsip yang harus mereka pegang adalah pelayanan pasien tidak boleh terganggu. Bisa saja mereka mengatur jadwal sehingga mereka tidak harus libur dihari minggu di hari-hari lain kan bisa libur, atau buat jadwal stan-by di hari minggu yang mereka anggap harus libur itu.

Sebelumnya setiap harinya mereka masih stand-by di kamar operasi pada sore dan malam hari, satu bulan belakangan ini tidak lagi, mereka perawat kamar operasi itu masuk pagi saja, seperti pegawai kantoran, masuk pagi pulang siang. Ini pun tidak masalah selagi pelayanan tidak terganggu, sewaktu-waktu ada operasi emergensi mereka bisa datang tidak apa-apa. Tetapi setelah terang-terangan mereka menyatakan tidak bisa operasi hari minggu dan mereka mau libur pula di hari minggu seperti karyawan kantoran? Perlu lagi dipertanyakan apakah mereka siap bekerja di rumah sakit apalagi di kamar operasi? Ini kan menjadi masalah besar untuk pelayanan di rumah sakit. Siapa yang bertanggung jawab terhadap masalah ini? Tentunya manajemen rumah sakit kalau memang manajemen masih care. (mudah-mudahan masih).


Monday, February 24, 2014

Coitus Interruptus


Coitus Interruptus / Senggama Terputus


Adalagi cerita menarik dari kamar praktek. Kejadiannya sebenarnya lebih dulu dari cerita "Anal seks". Hari itu Sabtu 8 Februari, datanglah seorang perempuan muda berumur 22 tahun beserta ibunya berumur paruh baya. Keluhan utamanya perut perempuan muda ini sudah seminggu ini terasa sakit. Sakit hilang timbul, terasa terutama pada ari-ari. Bagaimana dengan menstruasinya tanya saya, "Mens nya telat 3 bulan ini Pak". Memang mens suka terlambat tanya saya lagi, ia menjawab memang menstruasinya suka terlambat dan ibunya juga membenarkan. 

Setelah selesai anamnesa maka saya seperti lazim seorang dokter maka dilakukanlah pemeriksaan fisik. Hasilnya pada palpasi teraba masa di supra simfisis, masa teraba sampai pertengahan pusat dan simfisis. Sewaktu melakukan pemeriksaan fisik ibunya sempat juga bertanya curiga pada anak gadisnya ini, apa dia berbuat salah, apa anak gadisnya ini telah berbuat bukan-bukan. Sang anak pun menjawab dengan yakinnya bahwa tidak ada dia berbuat seperti itu. " Saya gak ada berbuat itu Mak, saya gak mau permalukan keluarga dengan berbuat seperti yang Ibu tuduhkan". 

Saya pun lanjutkan pemeriksaan dengan pemeriksaan tambahan. USG kebetulan ada ditempat saya praktek. Maka dengan didampingi perawat saya USG lah perut ini gadis. Alangkah terkejutnya saya ternyata dari monitor USG tampak lah janin bayi yang tampak bergerak dan berdenyut. Ibunya yang melihat bertanya apa hasilnya, saya jawab nanti lah saya jelaskan sama ibu jawab saya. Dengan sopan saya minta sang ibu keluar sebentar. Dalam kamar praktek itu tinggal lah kami bertiga, saya dengan pasien saya dan didampingi oleh seorang perawat.

Saya berhasil meyakinkan pasien saya untuk bercerita. Semula dia bersikeras bahwa dia tidak ada melakukan hubungan seks. Setelah saya korek dia mulai mengaku dia sudah punya pacar. Anak sekarang kan kalau pacaran sudah biasa melakukan “ Petting” pancing saya lebih dalam. Ternyata apa yang dilakukan pasien saya ini lebih jauh lagi. “ Pacar saya menembakkan spermanya ke atas perut, nggak tumpah didalam”. Hmm rupanya masih masa pacaran aja ini anak udah KB, gak tau dia kalau Coitus Interruptus punya angka kegagalan tinggi. 

Ok 

Wednesday, February 19, 2014

Anal Sex

Anal Sex


Pagi ini Kamis 20 Februari 2014, saya kedatangan pasien muda wanita 18 tahun, diantar ibunya yang berumur paruh baya. Sang ibu mulai bercerita entah apa saya gak tau semua arti kata dan kalimat yang keluar dari mulut ibu ini, maklum baru satu setengah bulan kerja di negeri "halak hita" ini. Meskipun hanya mengerti satu dua kata saya sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa anak gadis sang ibu ini keluhan utamanya adalah benjolan di anus sejak satu bulan ini. 

Setelah di inform consent sang ibu dan anak bersedia untuk diperiksa bagian tubuhnya yang sakit. dari inspeksi saya sudah dapat mendiagnosa bahwa pasien saya yang notabene masih sekolah di pondok pesantren yang tinggal di asrama ini mengidap penyakit kelamin yaitu veruca vulgaris. Penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual yang berbentuk jengger ayam.

Namun saya belum yakin dengan itu. Dengan sopan saya minta ibunya keluar sebentar, lalu saya bersama perawat pendamping yang tinggal di dalam kamar periksa, mulai menggali pada pasien saya ini tentang penyakitnya. Saya berhasil meyakinkan dia kalau apa-apa yang dia sampaikan tak akan diberitahu kepada ibunya.

Alangkah terkejutnya saya ternyata memang betul penyakit yang dideritanya ini adalah penyakit kelamin. Kok bisa ya.. anak santri yang tinggal di pondok pesantren yang berada di suatu perkampungan kecil terjangkit penyakit ini dan tumbuh di anus lagi.

Dari pengakuannya baru saya ketahui mondok sebagai santri tidak jaminan anak terbebas dari pergaulan bebas. Barang kali badannya terkurung namun oleh karena komunikasi dengan dunia luar bebas seperti handphone dan internet leluasa ia dapatkan, tak heran jika ada kesempatan walau sekejap dapat dapat ia gunakan. 

Kesempatan liburan yang digunakan. "Bermalam?" tanya saya, "tidak" katanya. Ia pergi dengan pacarnya yang kuliah di Medan, waktu liburan dia diajak ke rumah saudara pacarnya yang kebetulan kosong. Dirumah saudaranya itu lah sang pacar mengajak berhubungan badan lewat anal. Cerdik juga karena dengan begitu tidak merusak keperawanan dan tidak akan hamil. Saya gak tahu apakah hanya itu alasan nya atau ada alasan lain misalnya dengan anal seks belum masuk pengertian zina? Karena zina pengertiannya adalah masuknya kemaluan laki-laki kedalam kemaluan perempuan? 
Saya sedikit beri pemahaman bahwa hal itu termasuk dosa besar dan di larang agama. Jangan kan belum jadi pasangan syah, suami istri yang sudah nikah pun tidak dibolehkan anal seks, itu adalah diluar batas, apalagi ini bukan pasangan yang syah. Pasien saya pun hanya tertunduk diam.